Pengaruh Pemberian PR Terhadap Prestasi Siswa
Beberapa bulan
kebelakang ini marak kontroversi mengenai Pemberian Pekerjaan Rumah (PR).
Kontroversi muncul ketika Dinas Pendidikan Kota Blitar berencana menerbitkan
surat larangan pemberian PR kepada siswa sekolah. Seperti
biasanya sebuah gagasan atau keputusan, pasti akan menuai pro dan kontra
dikalangan masyarakat Kepala Dindik Pemkot Blitar M Sidik mengatakan, sebetulnya kebijakan
larangan memberikan PR sudah diterapkan sejak tahun lalu.
"Namun hanya berupa imbauan. Nah untuk tahun ini, kami coba lebih intensif memberikan anjuran secara formal. Mungkin akan kami edarkan selebaran. Pembelajaran harus tuntas pada saat di sekolah," tegas Sidik ditemui di kantornya, Selasa (17/7/2018). Larangan pemberian PR, menurut Sidik, memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk mendapatkan pendidikan dari keluarganya. Pelajaran kecakapan hidup. Beragam alasan dan argumen pun muncul ke permukaan sesuai dengan sikap dan kubu dari masing-masing pengusung gagasan.
"Namun hanya berupa imbauan. Nah untuk tahun ini, kami coba lebih intensif memberikan anjuran secara formal. Mungkin akan kami edarkan selebaran. Pembelajaran harus tuntas pada saat di sekolah," tegas Sidik ditemui di kantornya, Selasa (17/7/2018). Larangan pemberian PR, menurut Sidik, memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk mendapatkan pendidikan dari keluarganya. Pelajaran kecakapan hidup. Beragam alasan dan argumen pun muncul ke permukaan sesuai dengan sikap dan kubu dari masing-masing pengusung gagasan.
Presiden Jokowi sendiri
juga sempat mengusulkan agar PR yang diberikan adalah kegiatan social dengan
tujuan menguatkan karakter. Contohnya: Menengok tetangga yang sakit, mengikuti
kerja bakti di lingkungannya, dan lain lain. Sedangkan Di Purwakarta, Bapak Bupati Dedi Mulyadi memberikan larangan pemberian PR yang bersifat akademis. Pekerjaan rumah
seharusnya yang bersifat aplikatif yaitu apa yang dipelajari di sekolah
kemudian diterapkan di rumah. Sistem seperti itu dinilai akan mendorong siswa
untuk lebih kreatif.
Bahkan
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengukur
efektivitas pemberian PR kepada siswa. Efek ini meliputi pengaruhnya terhadap
prestasi akademik, non-akademik, kebiasaan belajar, penggunaan waktu, pengaruh
terhadap kesehatan dan kehidupan sehari-hari.
1. Pada bidang Akademik
Cooper, Robinson & Patall
(2006) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian PR terhadap
prestasi siswa. Hasilnya bervariasi dari mulai usia anak dan tingkat
pendidikan. Ini menandakan bahwa PR tidak memberi pengaruh yang sama terhadap
prestasi akademik siswa.
Pada siswa usia remaja dan
sekolah menengah, pemberian PR yang cukup intens telah berhasil meningkatkan
prestasi akademik mereka. Perbedaan prestasi terlihat di antara siswa yang
terbiasa diberi tugas PR dengan siswa yang tidak diberi PR. Tetapi pembebanan
PR yang terlalu banyak kepada siswa remaja atau yang lebih tua, justru
menunjukkan hasil buruk. Mereka yang menghabiskan waktu pengerjaan PR dua
jam sehari ke atas menunjukkan performa akademik yang kurang baik. Sementara
itu, pemberian PR kepada siswa sekolah dasar, tidak begitu berdampak pada
prestasi akademik siswa. Rata-rata hasil pemberian PR kepada mereka justru
memperburuk prestasinya atau bahkan sama saja.Tetapi pada siswa-siswa yang
kurang pintar, pemberian PR bisa memberikan dampak terhadap prestasinya.
Sedangkan di kalangan siswa yang pintar, pemberian PR tidak memberikan
perbedaan yang signifikan.
2.
Non Akademik
Sementara itu, Epstein (1988)
menemukan korelasi hampir nol antara jumlah PR dan laporan orang tua tentang
seberapa baik perilaku siswa sekolah dasar mereka. Vazsonyi & Pickering
(2003) mempelajari 809 remaja di sekolah menengah Amerika dan menemukan bahwa
adanya korelasi yang lebih tinggi antara waktu yang dihabiskan untuk PR dan
perilaku buruk.
Siswa mereka lebih cenderung
memiliki persepsi negatif tentang PR dan cenderung kurang menganggap
pengembangan keterampilan tersebut untuk PR. Leone & Richards (1989)
menemukan bahwa siswa umumnya memiliki emosi negatif ketika menyelesaikan PR
dan mengurangi keterlibatan dibandingkan dengan kegiatan lain.
Di sisi lain, Bempechat (2004)
mengatakan bahwa PR mengembangkan motivasi dan keterampilan belajar siswa.
Dalam sebuah studi tunggal, orang tua dan guru siswa sekolah menengah percaya
bahwa PR meningkatkan keterampilan belajar siswa dan keterampilan tanggung
jawab pribadi.
3.
Penggunaan waktu
Galloway, Conner & Pope
(2013) menyurvei 4.317 siswa sekolah menengah dari sepuluh sekolah unggulan.
Mereka menemukan bahwa siswa menghabiskan lebih dari 3 jam untuk mengerjakan PR
setiap hari.
Akibatnya, 72% dari siswa
mengalami stres karena PR, dan 82% melaporkan gejala gangguan fisik. Para siswa
tidur rata-rata 6 jam 48 menit, lebih rendah dari rekomendasi yang ditentukan
oleh berbagai lembaga kesehatan.
Sebuah penelitian yang dilakukan
di University of Michigan pada 2007 menyimpulkan bahwa jumlah PR yang diberikan
semakin meningkat. Dalam sampel yang diambil, siswa antara usia 6 dan 9 tahun
itu menunjukkan bahwa mereka menghabiskan lebih dari 2 jam seminggu untuk PR.
Padahal pada tahun 1981 siswa hanya menghabiskan waktu selama 44
menit.
4.
Kesehatan
PR telah diidentifikasi dalam
berbagai penelitian sebagai sumber stres dan kecemasan yang dominan atau
signifikan bagi siswa. Studi tentang hubungan antara PR dan kesehatan sedikit
dilakukan jika dibandingkan dengan studi tentang hubungan PR dengan prestasi
akademik.
Cheung & Leung-Ngai (1992)
menyurvei 1.983 siswa di Hong Kong, dan menemukan bahwa PR menyebabkan tidak
hanya menambah stres dan kecemasan, tetapi juga gejala gangguan fisik, seperti
sakit kepala dan sakit perut.
Sebuah studi mahasiswa Amerika
tahun 2007 oleh MetLife menemukan bahwa 89% siswa merasa stres akibat PR. 34%
melaporkan bahwa mereka "sering" atau "sangat sering"
merasa stres karena PR. Stres terutama terlihat di kalangan siswa sekolah
menengah. Akibatnya, siswa yang stres ini lebih mungkin untuk tidak tidur.
5.
Kehidupan sehari-hari
PR dapat menyebabkan ketegangan
dan konflik di rumah maupun di sekolah dan dapat mengurangi waktu luang
keluarga dengan siswa. Dalam survei Cheung & Leung-Ngai (1992), kegagalan
untuk menyelesaikan PR dan nilai siswa yang rendah di mana PR merupakan
faktornya, berkorelasi dengan konflik yang lebih besar.
Beberapa siswa telah melaporkan
guru dan orang tua sering mengkritik pekerjaan mereka. Dalam studi MetLife,
siswa sekolah menengah melaporkan menghabiskan lebih banyak waktu menyelesaikan
PR daripada melakukan tugas rumah. Kohn (2006) berpendapat bahwa PR dapat
menciptakan konflik keluarga dan mengurangi kualitas hidup siswa.
Sallee & Rigler (2008),
melaporkan bahwa PR mengganggu kegiatan dan tanggung jawab ekstrakurikuler
siswa. Namun, Kiewra dkk. (2009) menemukan bahwa tidak banyak orang tua yang
melaporkan PR sebagai pengalih perhatian dari kegiatan dan tanggung jawab
anak-anak mereka. Galloway, Conner & Pope (2013) merekomendasikan studi
empiris lebih lanjut terkait dengan aspek ini karena perbedaan antara
pengamatan siswa dan orang tua.
Sebagai orang yang pernah sedang mengenyam pendidikan,
ada dorongan untuk ikut menyuarakan opini terkait masalah PR ini. Opini ini
bukan merupakan hasil kajian pribadi, tetapi berupa saduran dari beberapa hasil
penelitian di atas. Menurut penulis, Pada masa kini,
pekerjaan rumah bukan lagi sebuah hukuman seperti
zaman dulu,
namun sudah menjadi bagian terencana bagi seorang guru. Dalam Rencana Persiapan
Pembelajaran (RPP) yang dibuat seorang guru masa kini, umumnya menyertakan
bagian tugas mandiri terstruktur di rumah. PR juga diberikan persentase dalam
penilaian harian.
Pekerjaan
rumah memang pada saat ini menjadi polemik dan kontroversial, Terkadang anak
mengalami kesulitan mengerjakannya dan orang tua pun tidak dapat membantu anak
anak mereka. Belum lagi waktu yang diperlukan untuk mengerjakan pekerjaan rumah
dirasa mengurangi waktu bermain anak.
Menurut
penulis pemberian PR itu memang memiliki dampak positif dan negatif dalam
penyelenggaraannya, pemberian PR memang penting untuk menilai seberapa jauh
pemahaman siswa mengenai materi pembelajaran dan meningkatkan prestasi siswa.
Namun juga harus disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi siswa, seorang guru
tidak boleh memberikan PR yang terlalu berat membebani siswa dan tidak sesuai
dengan kompetensi peserta didik pada umur tersebut. Pemberian PR yang berat
justru akan membuat siswa menjadi stress, dan terjadinya penurunan kesehatan
Pemberian. PR juga dapat menyebabkan ketegangan dan konflik di rumah maupun di
sekolah dan dapat mengurangi waktu luang siswa dengan keluarganya. Penulis juga berharap pemberian PR diharapkan
bisa lebih kearah memberikan pengalaman langsung bagi peserta didik ketimbang
hanya mencari dan menyalin suatu jawaban.
Dari data-data hasil penelitian tersebut dapat
disimpulkan bahwa pada negara-negara lain seperti Amerika,dan hongkong. Bahwa
PR di negara tersebut juga menjadi polemik dalam bidang pendidikan, seperti
halnya polemik di Indonesia yang sedang mencuat. Di
samping itu, data dan penemuan di atas dapat menjadi pertimbangan para
pengambil kebijakan di dalam bidang pendidikan bahwa pembebanan PR harus
melalui studi dan penelitian yang tepat. Sehingga target dan tujuan PR bisa
diperoleh sebagaimana yang diharapkan oleh para pengelola pendidikan.
Hal
lain yang tidak kalah penting adalah, dalam membuat kebijakan atau keputusan
yang menyangkut kepentingan publik dalam bidang pendidikan, hendaknya disertai
dengan kajian dan analisa yang matang. Semua ini diperlukan dalam rangka
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia yang lebih baik.
Komentar
Posting Komentar